Part 1 Malam Gelap, Dikira Tuhan Terlelap
Oleh Hanif Kristianto
Sunyi. Dingin dan kadang menghangat. Kehijauan hamparan pepadian bersanding bersama air di parit-parit. Kehidupan pedesaan berasa asri. Jauh dari hiruk pikuk kota yang lama aku tinggali. Pukul 21.00 rumah-rumah sudah terkunci. Lebih hangat di dalam rumah, sambil menonton televisi beracara drama. Lamat-lamat jalan kampung mulai sepi. Tinggal lampu jalanan dan sesekali orang bersepeda motor baru pulang dari kerja malam.
Warga kampung mayoritas petani. Lahan meluas belum terjamah pengusaha property tanah. Meski di tetangga desa sudah ada tanah kavling siap bangun rumah. Secara keagamaan masih terkategori tradisionalis. Tak banyak memang yang mengenyam pendidikan di luar kampung. Kalau pun merantau, kebanyakan jualan sayur.
Teringat kata tradisionalis. Lamunanku melayang pada sebuah laporan tentang Islam tradisionalis. Sebagaimana laporan lembaga think tank AS, RAND Corporation yang membagi umat Islam menjadi tradisionalis, modernis, radikalis, dan ektrimis. Lembaga itu menyarankan pemerintah untuk mendukung dan merangkul Islam tradisionalis dan modernis. Sebaliknya, Islam radikalis dan ektrimis dibungkam dan diperangi.
“Kamu ini berislam tak usah radikal. Biasa-biasa aja. Sekarang kamu hidup di desa. Beda dengan kota!”ungkap Bapak sambil berbincang hangat.
Sejenak aku berpikir keras. Islam radikal seperti apa? Islam biasa-biasa seperti apa?
“Jangan-jangan, bapakku sudah terkena opini buruk media yang mencitraburukkan Islam?”gumamku.
Bukankah Islam yang biasa-biasa itu suka salat jamaah. Rajin ke masjid. Menutup aurat sempurna. Mengamalkan Islam dalam kehidupan. Tidak neko-neko. Tetap di jalan Islam yang sesungguhnya. Tidak dicampur adukan Islam dengan budaya yang menyimpang.
“Apa yang salah pada diriku?”tanyaku dalam hati.
Pasrah. Pilihan terbaik sebagai hamba. Dari ungkapan bapak, aku terus berpikir keras. Ada apa di tubuh umat ini? Bisa-bisanya Islam dibagi-bagi, bahkan menyebut Islam lainnya berbeda dengan dirinya.
“Bunda, bersyukur ya kita bisa mengenal Islam kaffah,”ungkapku.
“Memangnya kenapa bi?”panggilan akrabnya ke aku.
“Nggak, terkadang abi berfikir seandainya tidak ngaji dan kenal Islam, hidup kita pasti hampa. Jauh dari Allah dan rasul-Nya. Menjalani hidup pun tak bervisi dan misi.”
“Lalu?”seloroh bunda.
“Ya, kalau taat kita pasti bahagia. Sebaliknya kalau maksiat kita sengsara.”
“Lah, abi. Niru-niru motto Yuk Ngaji yang di IG,”guraunya sambil sibuk membuka instagram.
Tak terasa pukul 22.00. Mata mulai mengantuk. Si Hanifah sejak ba’da isya sudah terlelap. Bukan main susahnya meminta untuk gosok gigi sebelum tidur. Sejak tadi ia sibuk dengan buku-bukunya sambil sesekali berlarian dari depan ke belakang.
Satu persatu lampu padam. Di luar, suara jangkrik terdengar. Angin malam berhembus pelan. Bintang-bintang bergelantungan bersama bulan yang tak lagi tenggelam. Kembali suasana desa masih tenang. Belum ada goncangan dari riak-riak kehidupan.
Bersambung....
#cerita #cerbung #sastraislami #nusantara #localwisdom #islamrahmatanlilalamin #rinduislam
https://www.instagram.com/p/BtLl1XvB13o/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=1g7yftexrvt1n
📡Like n Share
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=254625588774403&id=100026808922217
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda