Part 2 Malam Gelap, Dikira Tuhan Terlelap
Oleh Hanif Kristianto
Assholatu khoirum minnannaum....
Assholatu khoirum minnannaum....
Allahu Akbar.... Allahu Akbar....
Laa ilaha illallah
Lengking adzan subuh memecah fajar shodiq. Kampung masih gelap dan sepi. Lampu tiap rumah masih sedikit yang menyala. Tak banyak memang yang merumpun ke masjid untuk jamaah. Padahal 100 % penduduk kampung muslim.
Barangkali pemandangan itu jamak di negeri ini. Panggilan adzan bukan panggilan suci. Bahkan ada pula yang menggap suara kidung lebih merdu daripada suara adzan. Entah dapat pelajaran di sekolah mana teori itu dikeluarkan. Bukankah kidung sekadar nyanyian manusia? Sementara adzan panggilan Allah, Tuhan manusia dan seluruh alam. Bahkan dengan adzan setan lari menjauh tunggang langgang.
“Shollu.. Shollu.. Subuh... Subuh...,”ucapku pada bunda dan si Hanifah.
Mata Hanifah masih agak berat untuk dibelalakan. Bunda perlahan menegakkan tubuhnya sambil sempoyongan. Peralahan kami berkejaran dengan suara pujian di masjid agar tak terlambat di rakaat pertama imam.
Rasanya iri pada pak Mudin dan istrinya. Berdua saling melengkapi untuk istiqomah pergi jamaah. Usia yang sudah berkepala enam, tak menyurutkan langkah bersepeda motor. Maklum, pak Mudin mendapat jatah imam rawatib di masjid.
Agak berat memang mengajak salat jamaah ke masjid. Apakah di kampungmu juga? Semoga dugaanku salah.
“Ayo dulur, biasakan salat berjamaah”. Bunyi baliho yang aku baca di parkiran masjid At-Taqwa.
Muadzin beriqomah. Seketika jamaah merapikan shaf salatnya. Entah masih belum tahu atau kekurangan ilmu. Shaf kami masih merenggang. Belum merapat demi keutamaan salat berjamaah.
Waktu itu shaf Cuma satu. Jamah ibu-ibu sebaris. Bapak-bapak sebaris. Tak kulihat anak-anak muda usia SMP-SMA. Pada kemana ya mereka?
“Bun, apa masjid sekarang sudah jadi museum ya?”tanyaku.
“Maksudnya gimana bi? Jangan ngaco. Nanti nasibnya bisa dijual lagi, seperti nasib rumah pengarang lagu Hymne Guru”, seloroh bunda terinspirasi baca berita kemarin.
“Gini loh bun. Bunda ini kelihatan nggak pernah ke museum. Coba lihat! Masjid yang sudah dibangun kokoh dengan dana jutaan rupiah, yang datang Cuma segelintir.”
“Emang manusia itu segelintir atau beberapa orang. Gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar lah, bi.”
“Ya elah bunda. Mentang-mentang kuliah juruan bahasa Indonesia, jawabannya menohok bingits,”sanggahku.
“Ehem..”senyum simpulnya merekah.
“Abi dan ummi ini kenapa sih. Dari tadi ngomongin masjid kayak museum. Lah giliran kakak kapan diajak ke museum. Masa ke masjid terus?”pintanya.
“Ya, nanti kita agendakan bersama. Jalan-jalan ke museum hantu di wilayah pantai utara,”rayuku.
“Hii.. serem!”
“Sudah. Sambil menunggu bunda siap-siap memasak dan menunggu tukang sayur. Kakak ngaji dulu ya sama bunda,”pintaku.
Teringat sabda baginda Rasul mulia. Jangan jadikan rumahmu layaknya kuburan. Sunyi dan senyap. Kering dan gersang. Tiada terdengar lantunan ayat-ayat cinta dari Allah Swt. Baginda pernah berpesan, hiasilah rumahmu dengan salat sunnah dan ayat quran.
Sembari sang surya perlahan menampakkan wajahnya. Satu per satu warga kampung keluar rumah dengan ragam aktifitasnya. Si petani siap ke pematang sawah. Anak pelajar siap perbekalan berangkat ke sekolah. Si emak-emak repot dengan masaknya. Ya, pagi inilah gambaran nyata kampung. Jika malam telah gelap. Manusia semua terlelap. Ada gelagat aneh yang tak terlihat. Sebabnya warga tak terpikat untuk melakukan pencegahan, meski itu maksiat dan kemunkaran.
Jalan-jalan kembali ramai. Anak-anak ke sekolah. Pegawai berangkat kerja. Angin dingin masih menusuk. Sisa embun di pagi subuh.
Berasambung...
___
#cerita #sastra #arusbaru #sastraislami #nulisterus #dakwah #bahagia #penulisindonesia #goodkarya
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=256753531894942&id=100026808922217
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda