Senin, 04 Februari 2019

Part 3 Malam Gelap, Dikira Tuhan Terlelap

Oleh Hanif Kristianto

”Le, ojok seneng ngomongin pemerintah,”pinta ibu seusai salat di musholah rumah.

  Jeder. Masuk betul ucapan ibu. Kalau ibu sudah bertitah. Sikap terbaikku diam dan mendengarnya. Tak berani aku membantah. Sebab semesta pikiranku dan ibu berbeda. Aktifitas kami juga berbeda.

“Elingo, bue iki digaji negara. Kamu bisa kuliah dari gaji ibu sebagai pegawai negeri,”lanjutnya memberi penekanan berarti.

  Sikap ibu tidak salah. Aku pun tidak membenarkannya. Sebab secara faktual, banyak pegawai negeri dan pejabat pemerintah memang tak berani frontal. Apalagi mengritik kebijakan yang bertentangan dengan Islam dan hati nurani insan. Masih segar dalam pemberitaan. Seorang menteri tidak terima ketika ada ibu-ibu memilih 02. Lalu mengaitkan dan sedikit menohok menanyakan: siapa yang menggaji ibu?

  Aku sangat memahami para menteri dan pegawai negeri. Mereka sudah mapan dan bisa dibilang menikmati fasilitas pemerintahan. Tak heran, jabatan menteri dan pegawai negeri, sangat diburu anak bangsa negeri ini. Lihatlah, sudah ada partai yang meminta jatah 10 menteri. Pendaftaran rekrutmen online pegawai negeri berjubel dan antri.

“Mengapa sih bacaanmu banyak kaitannya tentang negara dan politik?,”tanya ibu menelisik. Sebab ibu paham. Selembar buletin, tabloid, dan majalah bulanan kerap tercecer di meja ruang depan.

“Kamu ini ngaji kok bahas politik dan negara. Mbok ya ngaji itu yang damai. Adem ayem dan tanpa perselisihan! Ngaji nggak usah jauh-jauh!”tegas ibu.

  Dalam fikir aku menyusun kata-kata. Mengurai jawaban agar bisa masuk akal dan sesuai fitrah kemanusiaan.

“Bue, yang namanya gaji itu pasti bulanannya. Kalau rezeki itu misteri dari Allah Yang Kuasa,”jawabku perlahan.

“Ya, coba bue lihat struk gaji bulanan. Itu sudah pastikan nominalnya. Belum lagi TPP dan sertifikasi guru, plus gaji ketiga belas. Nominalnya jelas. Adapun rezeki yang kufahami bukan sekadar gaji.”

“Lalu, maksudmu apa?”

“Rezeki itu tak harus berwujud materi. Ada kala rezeki nikmat iman, Islam, kesehatan, dan lainnya. Pokonya semua yang dari Allah itu rezeki.”

“Ya tetap aja kalau mau dapat rejeki harus usaha dan kerja!”ketus ibu.

“Betul bu. Rezeki itu di tangan Allah. Sudah tertulis bagi setiap hambanya. Usaha dan kerja itu hanya peluang dalam menjemput rejeki. Bukan suatu kepastian mendapat rejeki.”

“Lah, kok iso?”tanyanya mendalam.

“Kalau suatu kepastian, tentu warung dan toko 24 jam pasti uangnya banyak. Faktanya, warung dan toko itu ada yang sepi dan gulung tikar. Ada juga orang yang nggak ngapa-ngapain dapat rejeki. Contohnya dapat warisan, diberi hadiah, dikasih berkat tetangga, dan ditraktir gratis teman. Apa nggak enak?”

“Hmmm....”gumam ibu.

“Adapun ngajiku tentang politik dan negara, sebab aku bergabung dengan partai politik Islam ideologis. Aku dibina dari aqidah hingga ibadah. Dari aqliyah hingga nafsiyah. Dari syariah hingga penerapannya dalam hidup dunia.”

“Oh...!”

“Politik yang kukaji bukan seperti politik sekular yang ribut jabatan dan kekuasaan. Politik dalam Islam sangat agung. Tujuannya mengurusi urusan umat dengan syariah. Penerapan syariah kaffah oleh negera. Manusianya bahagia negeranya berkah, bu!”

“Apa bue nggak bangga? Mendapati anakmu ini belajar menjadi hamba yang taat,”selorohku.

“Daripada bue ribut bertanya apakah negara yang menggaji ibu. Sudahlah, yang ngasih rejeki itu Allah melalui gaji bulanan bue. Bukan pemeritah atau pak Jokowi loh ya!”pesanku.

  Ibu memang orang yang paling gelisah seisi rumah. Khawatir melihat anak-anaknya belum mapan. Padahal, tanpa menjadi pegawai negeri pun, gaji bapak sudah cukup untuk bekal hidup kami sekeluarga. Maklumlah sebagai orang tua. Ingin anak-anaknya sukses duniawi dengan perbekalan pemenuhannya. Rumah, kendaraan, dan pekerjaan terpandang.

  Adapun aku berbeda dengan ekspektasi ibu. Realitanya aku manusia bebas dari ikatan dinas. Bukan pegawai kantoran yang berangkat pagi pulang petang. Bukan pula orang terkenal dan terpandang dengan pekerjaan bergaji puluhan jutaan. Pun bukan manusia yang dikenal di jagat nyata dan maya.

  Aku hanya sesosok hamba. Dalam pencarian hidup mencari perbekalan untuk kehidupan jauh dipandang. Kampung keabadian, akhirat sebagai tempat istirahat dan persinggahan. Banyak amal soleh dan pahala jariyah, Allah menganugerahkan surga. Berbuat amal salah dan memikul dosa jariyah, Allah membalasnya neraka.

Jam makan sore itulah yang mengakhiri perbincangan kami. Jam terus berdetak. Dalam fikir ibuku masih ada 1000 tanya. Mengapa anakku bisa seperti itu ya?

Bersambung........
_
#sastra #dakwah #islam #indonesia #waninulis #sangpencerah #indonesiamenulis #menulisdakwah #sosmedfordakwah #cerbung

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda