Part 4 Malam Gelap, Dikira Tuhan Terlelap
Oleh Hanif Kristianto
Semenjak kepulanganku ke kampung halaman, ibu benar-benar senang. Di masa usia menjelang pensiun, aku datang bersama istri, dan anakku. Lengkap sudah kebahagiaan ibu memiliki cucu yang dirindukan selama ini. Orang tua mana yang tidak mengharapkan kehadiran cucu setelah anaknya menikah?
Pernikahan tidak sekadar bicara laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu membawa gerbong keluarga kedua mempelai. Pun demikian, menikah tak sekadar memenuhi hasrat naluri seksual. Lebih dari itu menikah merupakan impian bagi setiap insan untuk melanjutkan keturunan. Bekal dan harapan mendapat keturunan sholih dan sholihah.
Sebagai seorang laki-laki, aku merasakan betul kondisi kawan-kawan yang masih membujang. Baik jomblowan maupun jomblowati. Ibaratkan berjalan, kawan-kawan belum punya pegangan. Kalaupun capek belum memiliki sandaran.
“Loh bun, mbak itu belum menikah ya?”usilku bertanya sambil santai menerawang masa lalu.
“Belum bi. Barangkali belum ketemu jodoh yang tepat aja. Kadang mbak-mbak nggak begitu mikir untuk urusan menikah.”jawabnya panjang lebar.
“Oh gitu ya!”
“Beda dengan kaum abi. Masih muda aja sudah kebelet nikah. Kalo ada akhwat lewat aja bapernya masya Allah,”guraunya.
“Hahahaha.... Betul juga sih.”
Tiba-tiba si Hanifah datang menghampiri. Kami yang berbincang terkaget.
“Cie-cie, abi sama ummi pacaran ya?”
“Loh, kakak dapat kata pacaran dari mana?”tanyaku agak kaget.
“Lah, kan abi sudah menikah. Kalau duduk berduaan berarti pacaran?”jawabnya enteng.
Si bunda tersadar. Jika teman-teman Hanifah kerap bilang pacar-pacaran. Usianya masih TK. Terkadang kami memang tidak mengawasi pergaulan Hanifah ketika main ke rumah tetangga. Sebabnya, tetangga sering menonton sinetron percintaan khas anak muda. Judulnya pun aneh-aneh. Belum lagi, kebiasaan anak-anak zaman now suka membuka You Tube. Meski yang ditonton anak-anak, terkadang menyajikan konten dewasa.
“Waduh bi, gimana nasib si Hanifah? Kecil-kecil omongannya pacaran dan nikah.”
“Lah, mau gimana lagi. Masyarakat kita aja belum menjadikan Islam sebagai standar. Terkadang yang penting anak diam dan senang, apa saja diberikan.”
“Ke depan kita coba belajar parenting bersama bi. Meski sudah beberapa tahun kita menikah tetap saja butuh belajar. Sebab kita manusia pembelajar. Bukankah belajar dan menuntut ilmu diperintahkan Allah dan kewajiban bagi tiap insan?”terang si Bunda yang saat ini sedang semangat baca buku parenting Islam.
Sore menjelang petang. Ibuku mengajak Hanifah pergi ke warung tetangga. Seperti biasanya, setiap permintaan Hanifah selalu saja dituruti. Berbeda denganku yang agak protektif berkaitan dengan makanan. Sebab, aku ingin anak-anak hanya memakan makanan yang halal lagi thayyib. Sayang, impianku menjaga makanan baik terhalang ide kapitalisme. Mereka memproduksi makanan tak memperhatikan aspek halal dan kesehatan. Lebih pada keuntungan materi demi perputaran bisnis dan mengeruk uang.
“Bi, jangan lupa doakan Hanifah dan kita. Semoga Allah selalu menjaga dalam taat dan kebaikan. Tanpa Allah kita tidak ada artinya. Pintalah doa hanya kepada Allah. Sebab Allahlah, Tuhan Yang Mengabulkan doa-doa hambanya. Bukan tuhan buatan atau ketahayulan yang merebak di tengah masyarakat pedesaan,”pesan bunda begitu menusuk relung hatiku.
“Insya Allah. Bismillah.”
Dung-dung
Dung-dung tek.. tek... tek...!
Allahu Akbar....! Allahu Akbar....! Adzan maghrib merayap berama senja dan langit barat yang mulai memerah. Kampung mulai gelap. Lampu-lampu bersinar gemerlap.
Bersambung....
#cerbung #cerita #sastra #fiksi #indonesiamenulis #thepowerofnulis
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=258720411698254&id=100026808922217
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda