Larangan Pernikahan di Usia Remaja, Bukan Solusi Bagi Kualitas Generasi
#IslamLindungiGenerasi
LARANGAN PERNIKAHAN DI USIA REMAJA, BUKAN SOLUSI BAGI KUALITAS GENERASI
Oleh: Nurul Hidayani, S.P. (Pemerhati Masalah Anak dan Perempuan)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kembali menyoroti kasus pernikahan dini. Kali ini terjadi di Sidrap (Sulawesi Selatan), mempelai pria berusia 16 tahun sementara mempelai wanita berusia 14 tahun. Komisioner KPAI menetapkan bahwa pernikahan anak akan menyebabkan lemahnya kualitas anak bangsa. (http://jabar.tribunnews.com/2019/03/06/kpai-ajak=pemerintah-daerah-dan-tokoh-agama-cegah-pernikahan-anak-di-bawah-umur).
Pernikahan dini sering dianggap sebagai penyebab lemahnya kualitas generasi, disebabkan rentang usia yang seharusnya difokuskan pada proses pencarian ilmu, peningkatan kreativitas, dan daya inovasi, dipaksa berhenti karena pernikahan. Belum lagi kehidupan pernikahan yang mereka jalani seringkali tidak mewujudkan kehidupan keluarga yang sejahtera dan harmonis yang berujung pada perceraian di pernikahan seumur jagung.
Problem lemahnya generasi yang dimaksud tergambar dengan tingginya angka pergaulan bebas, kehamilan di luar nikah, meningkatnya angka aborsi, kecanduan remaja terhadap narkoba, remaja dengan penyakit menular seksual, tingginya angka putus sekolah, kenakalan dan tawuran pelajar, rendahnya kemampuan bersaing di dunia kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya penghasilan, dan berujung pada rendahnya tingkat kesejahteraan. Sungguh tidak tepat jika semua problem kelemahan generasi tersebut dituduhkan kepada pernikahan dini sebagai biang penyebabnya.
Pemerintah dan pihak-pihak yang menyalahkan dan melarang pernikahan di usia remaja sesungguhnya ingin menutupi ketidakmampuan mereka dalam mengurusi rakyatnya, kelemahan mereka dalam menjamin kesejahteraan serta melindungi masyarakat dari segala kerusakan dengan kebijakan dan undang-undang liberal yang mereka buat. Bukankah tingginya angka pergaulan bebas, kehamilan di luar nikah serta aborsi yang tidak aman, justru disebabkan kebijakan liberal yang menghalalkan kebebasan pergaulan dan tidak adanya larangan perzinaan ? Bukankah kecanduan narkoba, kenakalan, dan kriminalitas remaja disebabkan karena system sanksi yang diberlakukan tidak memberi efek jera, ditambah lemahnya pihak keamanan terhadap mafia narkoba yang tetap berkeliaran, sehingga jutaan ton ganja melenggang masuk ke negeri ini? Bukankah tingginya angka putus sekolah dan jutaan sarjana pengangguran adalah disebabkan konsep pendidikan komersil berbiaya mahal yang diterapkan oleh negara? Serta tidak seimbangnya jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia dengan jumlah lulusan sarjana yang setiap tahun terus bertambah? Ini semua adalah tanggung jawab pemerintah.
Begitu pula dengan perceraian di usia perkawinan seumur jagung, hal ini disebabkan lemahnya pemahaman masyarakat akan arti penting sebuah perkawinan dan keharmonisan keluarga. Bukankah ini juga merupakan tanggung jawab pemerintah?
Jadi, problem utama lemahnya generasi bukanlah disebabkan pernikahan dini atau pernikahan di usia remaja, namun lebih pada lemahnya negara dalam mengurusi kepentingan warganya. Kekhawatiran para orang tua akan pergaulan bebas yang dibiarkan oleh negara, telah memotivasi mereka untuk segera menikahkan anak-anaknya di usia remaja, dengan harapan menikah di usia remaja akan menghindarkan anak-anak dari pergaulan bebas yang diharamkan agama. Apakah ini sebuah kesalahan? Tentu saja tidak, jika anak-anak telah dipahamkan tentang tanggung jawab pernikahan oleh orang tuanya. Larangan pernikahan di usia remaja sesungguhnya akan semakin meluaskan pergaulan bebas dan perzinahan. Di saat mereka bangkit syahwatnya dengan tayangan TV, konten porno di internet dan pergaulan dengan lawan jenis, akan tetapi kemudian mereka dilarang untuk menyalurkan hasrat seksualnya melalui pernikahan yang sah, maka tentu mereka akan melampiaskannya melalui perzinaan. Inikah yang diinginkan pemerintah?
Islam sesungguhnya telah mengatur sedemikian sempurna terkait masalah ini. Islam mewajibkan Negara Khilafah untuk memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, mengatur interaksi sosial mereka dengan syariat, sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang bersih dan terhormat. Islam memotivasi menikah di usia remaja, usia muda. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu (menanggung beban untuk menikah) maka menikahlah, sesungguhnya hal itu akan memelihara pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia shaum, karena sesungguhnya shaum itu adalah perisai.” (Mutafaq ‘alaihi).
Islam juga memerintahkan Negara Khilafah untuk menjamin kebutuhan setiap warganya, baik sandang-pangan-papan, juga pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sejak pendidikan dasar hingga menengah, Negara Khilafah hanya memberlakukan kurikulum pelajaran terkait aqidah Islam, sehingga saat memasuki usia remaja, generasi di tengah masyarakat telah menjadi generasi shalih yang siap mengemban tanggung jawab dalam kehidupan. Kedewasan usia berbanding lurus dengan kedewasaan pemikirannya. Tidak aneh jika dimasa Khilafah, sosok remaja usia 19 tahun seperti Muhammad Al-Fatih telah mampu memimpin sebuah pasukan besar, dan pada usia 21 tahun, dia berhasil menaklukkan benteng musuh Konstantinopel. Di usia 7 tahun, Imam Syafi’I telah hafal Alquran dan usia 10 tahun telah menghafal kitab masyhur Al-Muwatha Imam Malik serta menjadi ulama mazhab di usia dewasa. Dan banyak lagi generasi hasil didikan Islam dalam Negara Khilafah. Usia muda mereka jauh dari pergaulan bebas, apalagi perzinaan. Mereka adalah generasi yang kuat pewaris peradaban Islam. Menikah muda bukanlah halangan, karena sistem Islam yang diberlakukan akan menjaga mereka dari kelemahan.
Wallahu a’lam.[]